Sunday, October 07, 2012
SEBAIKNYA SAIN KEDOKTERAN MERUJUK PADA AL QUR’AN
Kita telah berduka atas kepergian Menteri
Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih MPH.DR.PH pada Rabu siang 2 Mei 2012
yang lalu. Duka tadi menyisakan
pertanyaan bagi kita. Rasanya pernyataan, itu sudah takdir, terlalu naif dan syarat ironi mengingat posisi
beliau sebagai seorang petinggi yang memimpin segala hal yang berkaitan dengan
kesehatan di negeri ini disamping beliau sebagai salah seorang pakar bidang
kesehatan. Para kampiun di bidang kesehatan dan ditopang oleh tekhnologi mutakhir bidang kedokteran tidak diragukan telah bekerja keras dan
maksimal menolong beliau melawan kanker yang menggerogoti paru-parunya, tetapi
tidak berhasil. Banyak kasus serupa atau
mirip yang diderita oleh orang awam yang tidak diexpose ke permukaan.
Mungkin juga ada diantara kita yang yakin
bahwa sain di bidang kedokteran sudah memasuki usia senja dan stagnan seperti
anggapan sejumlah pihak, sehingga mandul ketika berhadapan dengan sejumlah
kasus penyakit.
Memandang
manusia secara utuh
Sain
bidang kedokteran dengan para ahli/pakarnya di bidang tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Apa yang dilakukan oleh para pakar tadi dalam
menangani berbagai kasus penyakit yang diderita oleh pasien tidak boleh keluar
dari text book sain bidang kedokteran. Persoalannya banyak kasus penyakit di
masyarakat belum ada di text book tadi, kalaupun ada penggambaran dan cara
penanganannya tidak akurat.
Dasar pandangan yang dianut oleh sain kedokteran
bahwa manusia adalah salah satu jasad hidup seperti makhluq hidup lainnya. Atas
dasar ini sain kedokteran memandang segala aktivitas yang terjadi pada jasad
manusia lebih dititik beratkan sebagai proses fisis. Kerusakan dan kelainan sel
sampai ke jaringan dan organ-organ tubuh yang dibangunnya dipandang sebagai
proses fisis belaka, sehingga pengobatan yang dilakukan lebih bertumpu pada
pembedahan dan pemberian obat sebagai proses fisis dalam upaya memperbaiki
kerusakan dan kelainan tadi. Memang tidak ada yang salah penanganan semacam ini
selama penyebabnya murni fisis.
Persoalan akan muncul ketika penyebab
kerusakan atau kelainan tidak mampu dideteksi dengan peralatan kedokteran yang
paling canggih sekalipun. Jadilah pakar atau dokter mendiagnosis penyakit hanya
bermodalkan prediksi dari gejala yang muncul pada diri pasien. Mungkin untuk
kasus sederhana yang tidak terlalu membahayakan pasien cara seperti ini tidak
apa-apa dan lazim, tetapi untuk kasus berat yang menentukan hidup mati seorang
pasien sangat mahal taruhannya untuk dilakukan. Cukup banyak kasus semacam ini
saya temui selama menggeluti pengobatan
nonmedis tiga puluh tahun lebih.
Satu kasus pernah saya tangani menimpa
seorang gadis, mahasiswi Perguruan
Tinggi Negeri. Pasien sudah berbaring selama 24 hari di sebuah rumah sakit
papan atas di Jakarta. Dia putri seorang dokter senior yang bertugas disitu.
Tim dokter yang dibentuk khusus untuk menangani pasien tadi memeriksa setiap 10
menit, tapi bapaknya tidak masuk tim karena begitu aturan disitu. Diagnosis
dokter menurut bapaknya, putrinya terserang typhus, tetapi diberi anti thypus
selama 24 hari tidak ada perubahan apa-apa sebagai tanda kearah kesembuhan.
Malah tim dokter meminta izin untuk cuci darah putrinya. Saya tanyakan padanya,
apakah tidak salah mengambil tindakan medis sebelum diagnosisnya jelas dan
terang. Dan saya tegaskan lagi bahwa putrinya menderita penyakit nonmedis.
Pengalaman saya dalam menangani kasus nonmedis, tindakan medis yang salah
seperti itu akan sangat fatal, pasien tidak akan tertolong jiwanya. Dokter
senior tadi penasaran bercampur khawatir mendengar pertanyaan dan penegasan
saya. Dia bertanya dan berdiskusi selama berjam-jam tentang dasar pemahaman
saya yang mendasari pengobatan yang saya lakukan.
Saya tegaskan bahwa saya memandang
manusia secara utuh seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an. Manusia terdiri dari komponen utama yaitu, jasad, jiwa dan ruh. Ilmu kedokteran lebih fokus mempelajari jasad, sementara jiwa
seperti diabaikan. Ada juga upaya sain kedokteran mempelajari jiwa manusia
lewat psychology, tetapi sifatnya hanya meraba-raba melalui gejala aktivitas
manusia, tetapi tidak pernah sama sekali menyentuh jiwa sebagai materi pokok. Padahal penyakit
nonmedis dan sebahagian penyakit medis disebabkan karena terjadi error pada
jiwa atau bahagian jiwa manusia.
Memahami manusia sebagai makhluk hidup
secara utuh bukanlah memahaminya sebagai jasad yang hidup seperti pandangan
sain kedokteran, tetapi pemahaman yang mendasar bahwa didalam jasadnya ada jiwa
dan ruh yang membuat dia jadi hidup, bisa beraktivitas apapun baik yang kelihatan
maupun yang tidak kelihatan. Jiwa yang membuat manusia merasakan sakit, nikmat,
senang, gembira dan sebagainya. Apa yang dilakukan atau yang tidak dilakukan
oleh jasad, semua atas perintah dari jiwa. Kalau jiwa atau bahagian jiwa
seorang anak manusia error, maka error juga perintah yang diberikannya ke
jasad. Tanpa memperbaiki bahagian jiwa yang error dan menjadi penyebab penyakit
pasien, tidak mungkin pasien itu sembuh.
Dokter senior tadi percaya dan yakin
dengan pendapat dan pemahaman saya, dia tidak memberi izin cuci darah putrinya
kemudian mengikuti konsep pengobatan yang saya paparkan. Beberapa hari kemudian
putrinya sembuh total.
Mengenal
jiwa manusia
Al Qur’an mengajarkan kita banyak sekali
tentang jiwa manusia baik tersurat maupun tersirat. Dalam setiap jasad manusia
ada satu jiwa yang terikat disitu sebagai jiwa utama atau jiwa pertama. Jiwa
inilah yang pertama diciptakan oleh Allah sebelum jasad diciptakan. Jiwa
pertama ini yang memerintahkan jasad sampai ke bahagian paling kecil dari jasad
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Disamping itu ada jiwa sekunder
yang jumlahnya sangat banyak untuk setiap orang yang biasanya keluar masuk jasad. Jiwa
sekunder inilah yang berinteraksi dengan jiwa sekunder makhluq lain, apakah
yang kasat mata seperti manusia lain, binatang dan tumbuh-tumbuhan atau jin dan
syetan yang tidak kasat mata.
Umumnya penyakit nonmedis disebabkan oleh
interaksi jiwa sekunder ini dengan pihak lain, pihak lain yang menyiksanya atau
membuatnya tersiksa karena berbagai sebab. Siksaan ini dirasakan oleh jiwa
pertama yang melekat di jasad dan lebih ekstrim lagi jiwa pertama yang
merasakan siksaan tadi memberi order yang error pada sel atau kelenjar untuk
berbuat sesuatu seperti membuat sel
kanker dan tumor atau tidak berbuat sesuatu seperti tidak memproduksi atau
membatasi produksinya seperti insulin pada penderita diabetes. Perintah yang
error ini sangat bertentangan dengan system keseimbangan atau pertahanan dalam
tubuh anak manusia yang bersangkutan. Tanpa membenahi jiwa sekunder yang error
tadi tidak mungkin si pasien bisa disembuhkan.
Sayangnya jiwa-jiwa sekunder ini hanya
bisa dijangkau dan ditata oleh orang yang piawi menggunakan jiwa-jiwa sekunder
mereka seperti orang-orang yang mendalami dan aktif dalam kegiatan olah
spiritual bukan dalam pengertian klenik dan mistik atau semacamnya.
Aktivitas jiwa-jiwa sekunder terjadi di
dimensi dan sub dimensi lain dari alam semesta ini. Tetapi bukan
dimensi-dimensi yang diyakini keberadaannya oleh ahli fisika pada
dimensi-dimensi ruang waktu lengkung dalam konsep formulasi metamatika yang
tidak bisa dibayangkan dan tidak bisa dihayalkan
sama sekali. Dimensi yang saya maksud adalah suatu realitas yang hanya bisa
dideteksi dan dijangkau oleh kita secara sadar maupun tidak sadar pada tingkat kepekaan tertentu dalam
merasakan jiwa-jiwa kita sendiri dam
jiwa-jiwa pihak lain.
Ada baiknya para pakar atau ilmuwan di
bidang kedokteran membuka diri dalam penelitian tentang jiwa manusia ini, bukan
dalam hal perdukunan, mistik atau klenik, tetapi suatu ilmu jiwa terapan yang
akurat berpijak pada pengajaran Al Qur’an dan fakta empiris yang valid dan
begitu banyak. Kita berharap apabila dasar pemahaman yang akurat tentang jiwa
disusun menjadi suatu standar baku dalam penanganan kasus nonmedis, maka akan
lebih banyak kasus penyakit yang masih gelap dan jadi misteri selama ini bisa
disingkap, tanpa hanya bisa berkilah dengan kata takdir dalam menyikapi
kematian seorang pasien.
Jatiasih, 8 Juni 2012
Jusuf Hakim
Monday, June 11, 2012
PENGALAMAN PEMBACA BUKU TERAPI ALIF
JH Alifulhaq Terapi Alif
Pada
suatu acara hajatan tetangga kebetulan salah seorang bapak muda umurnya sekitar
30 th., karyawan swasta, tetangga masih satu RT dengan saya duduk disisi kiri
saya. Dia bercerita, setelah beberapa hari membaca buku saya yang berjudul
SEMBUH SEKETIKA BUKAN MIKJIZAT ATAU KEAJAIBAN, dia terserang flu dan demam. Kemudian
dia ke dokter, setelah diukur tekanan darahnya dokter menanyakan apakah dia ada
riwayat tekanan darah rendah. Tetangga saya ini kaget, kemudian dia jelaskan
kepada dokter tadi bahwa dia penderita hypertensi/tekanan darah tinggi sebagai
penyakit keturunan menurut dokter langganan perusahaan tempat dia bekerja dan
harus rutin minum obat, tanpa boleh berhenti. Dokter yang memeriksanya jadi
bingung, kemudian mengukur ulang tekanan darahnya sampai tujuh kali, hasilnya
tetap sama, tekanan darahnya tetap rendah.
Besoknya
dia ke dokter langganan perusahaannya untuk dicek lagi tekanan darahnya, memang
tekanan darahnya sudah turun malah cenderung rendah. Dokter tadi merasa heran,
apa yang menyebabkan tekanan darahnya jadi turun. Tapi pesan dokter
langganannya ini agar dia jangan menghentikan secara drastis minum obatnya,
sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit.
Atas
kejadian yang dialaminya ini bapak muda ini bertanya pada saya, apakah dengan
membaca buku tadi berpengaruh pada penyakit dia. Sebelum saya menjawab
pertanyaan dia tadi, saya bertanya padanya tentang apa yang dia paham dan dia
tangkap di buku saya yang dia baca. Setelah dia jelaskan pemahamannya dan menurut
saya pemahamannya benar, kemudian saya jawab bahwa penyakit yang dideritanya
adalah penyakit nonmedis sehingga berpengaruh pada penyakitnya setelah memahami
secara benar buku saya.
Percakapan
saya dengan tetangga tadi rupanya disimak oleh tetangga saya yang lain yang
duduk di sisi kanan saya. Tetangga yang ini tetangga satu RT juga dengan saya,
seorang bapak pensiunan perusahaan swasta dan umurnya sekitar 60 th. Dia
mengaku setelah membaca dua buku saya, dia diam-diam terapkan apa yang dia
paham dari kedua buku tadi. Beberapa lama setelah itu dia cek kandungan gula
darah ke dokter langganannya, dokter tersebut heran karena kandungan gula
darahnya turun drastis mendekati normal. Tetangga yang satu ini senang karena
dia sudah divonis oleh dokter sebagai penderita penyakit diabetes keturunan
yang tidak mungkin disembuhkan. Setelah itu berbagai pantangan dalam urusan
makan tidak lagi dia hiraukan.
Tetangga
saya yang ini, salah seorang putrinya kuliah di fakultas kedokteran universitas
swasta di Jakarta. Ceritanya, setelah dia membeli buku saya yang pertama belum
selesai membacanya, putrinya meminjam buku tadi, di bawa ke kampusnya. Di
kampus teman-temannya se fakultas meminjam buku tadi, kemudian tidak
mengembalikannya ke putri teman saya dengan permintaan untuk disimpan di
perpustakaan agar mereka bisa baca bergilir. Tetangga yang teman saya tadi
mengalah terpaksa dia cari lagi buku tadi di toko buku GRAMEDIA.
TOP SELING BUKU TERAPI ALIF
Subscribe to:
Posts (Atom)