Saat saya shalat, makan dan di kamar mandi tidak bisa lama-lama karena seringkali saat seperti itu si gadis dihajar syetan si Abah A dan teman-temannya sampai pingsan dan sekarat, hampir-hampir napasnya berhenti. Saya khawatir kalau terlambat sedikit si gadis tidak tertolong. Saya tidak tega melihatnya.
Bapaknya beberapa kali menangis melihat penderitaan putrinya, padahal sejak remaja sampai setua itu tidak pernah menangis meskipun pada saat orangtuanya meninggal.
Praktis selama seminggu boleh dikatakan saya tidak tidur, hanya pulas beberapa menit di kursi kemudian terbangun lagi. Hal yang terus membingungkan saya, kok mereka tidak mati atau lemah padahal menurut penglihatan si gadis, mereka dihajar sampai hancur berantakan. Mereka terus muncul setiap saat dengan kondisi dan kekuatan utuh menyakiti si gadis.
Waktu itu saya berpikir, apa mungkin bisa mengalahkan mereka secara tuntas dalam arti si gadis sembuh total.
Biasanya begitu mereka kalah atau kabur setelah bertarung dengan saya, si gadis tidak merasakan sakit sedikitpun, keadaannya biasa saja seperti orang sehat.
Ancaman yang mengguncang hati dan perasaan.
Saya ingat waktu itu pukul 20.00 setelah seminggu saya obati si gadis. Si Abah A bersama teman-temannya marah besar pada saya yang selalu menghalangi hajat mereka untuk membunuh si gadis. Saat itu si gadis baru saja sekarat karena digorok lehernya dengan golok oleh syetan si Abah A. Saya datang tepat pada waktunya untuk menolong si gadis sehingga si Abah A gagal malaksanakan hajat jahatnya.
Si gadis sadar setelah ditolong, melihat ke si Abah A dan ketiga tamannya yang masih ada dihadapannya. “ Abah mau bicara Om “, begitu kata si gadis pada saya. Kemudian dia lanjutkan :” Om disuruh pilih, mau bicara langsung atau lewat perantaraan saya “.
Setelah Tanya-jawab lewat perantaraan si gadis, baru saya paham maksudnya, kalau bicara langsung, syetan si Abah A masuk ke diri si gadis dan bicara langsung dengan saya. Kalau lewat perantaraan si gadis, si Abah A bicara pada si gadis kemudian si gadis menyampaikan pada saya apa yang dikatakan si Abah A.
Kemudian saya sepakat dengan syetannya si Abah A, bicara langsung dengan syarat tidak boleh main curang dalam arti dia tidak menghajar si gadis saat dia ada dalam dirinya.
Si Abah A bicara pada saya seperti seorang kakek yang sangat bijaksana dan sangat sabar kepada seseorang yang tingkatnya jauh dibawah dia, menganggap saya seperti anak kecil sehingga saya dipanggil Ujang.
Pertama kali dia memperkenalkan diri sebagai tokoh tua yang baik dan penuh pengertian, tetapi dia menyatakan tidak mampu menahan ketiga temannya yang ganas. Saya hanya ingat salah satu diantara teman yang diperkenalkan itu, tokoh dari puncak Gunung Semeru yang sangat haus darah, minumnya darah manusia, makanannya organ tubuh manusia dan saat itu sedang kelaparan.
Kata si Abah A, teman-temannya sudah tidak sabar untuk menghabisi saya, tetapi ditahan oleh dia, mau dirundingkan dulu dengan saya.
Si Abah A berkata pada saya : “ Ujang masih muda, punya kedudukan bagus di kantor, isteri sangat cantik dan muda, anak-anaknya pintar-pintar dan manis-manis masih kecil. Kalau Ujang mati, siapa yang urus mereka, siapa yang kasih makan mereka. Ujang nggak kasihan sama mereka. Sebaiknya Ujang jangan ikut campur lagi dalam urusan Abah ini “.
Semua yang ada di rumah dan ikut mendengarkan jadi diam, seperti bergidik ngeri dan seram, menatap saya dengan perasaan khawatir. Untung isteri dan anak saya tidak ada disitu.
Saya masih diam, belum menjawab. Hati dan perasaan saya terguncang hebat, karena apa yang dikatakan si Abah A kena benar pada diri saya. Kalau saya mati, tidak mungkin orang yang saya tolong mati-matian dengan taruhan nyawa ini bisa dan mau mengurus dan menghidupi anak-isteri saya.
Waktu itu isteri saya belum punya penghasilan apa-apa, karena dia hanya ibu rumahtangga dan kebutuhan keluarga hanya mengandalkan penghasilan saya.
Buat saya, itu benar-benar sulit, kalaupun mati artinya mati konyol.
Si Abah A mendesak : “ Bagaimana Jang “.
Orang-orang yang ada disitu memandang saya dengan tatapan tidak tega dan penuh khawatir. Apalagi keluarga si gadis merasa tidak enak waktu itu. Saya masih diam mempertimbangkan. Terbayang wajah isteri dan anak-anak yang sangat saya sayangi dan manjakan. Hati saya tergetar, betapa berat pilihan ini, betapa berat cobaan ini. Dibenak saya menggaung pertanyaan, “ akankah isteri dan anak-anak saya menyesali saya sepanjang hayat mereka kalau saya mati konyol karena menolong orang lain, sementara mereka jadi korban “.
Si Abah A terus mendesak : “ Bagaimana Jang, mundur apa terus.”
Tiba-tiba seperti ilham yang menyadarkan saya bahwa kehidupan ini pemberian Allah dan pengobatan yang tengah saya lakukan ini adalah ketetapan Allah, tanpa saya minta tanpa saya cita-citakan sebelumnya. Saya harus kembalikan semuanya pada Dia, terserah apa ketetapannya kali ini.
Akhirnya saya jawab dengan tegas : “ Saya tawakkal pada Allah, saya terus, apapun yang terjadi “.
Si Abah berkata dengan sabar dan bijaksana : “ Begini Jang. Abah kasih waktu untuk berpikir, jangan buru-buru. Jam dua nanti Abah datang lagi bersama teman-teman.”
Si Abah A keluar dari si gadis, bersamaan dengan itu si gadis sadar, sehat walafiat, tidak ada keluhan apapun. Si gadis cerita, memang ketiga teman si Abah A itu seram dan sadis serta sangat menakutkan.
Si Abah A keluar dari si gadis jam sembilan kurang. Menunggu jam dua dini hari waktu sangat menyiksa bagi saya. Rumah itu terasa seperti tempat yang sangat menyeramkan dan mengerikan. Siapapun yang ada disitu tidak ada yang mengeluarkan suara keras masing-masing larut dalam suasana ketakutan yang mendalam.
Menatap wajah mereka satu-satu membuat saya makin tidak enak, wajah-wajah yang penuh ketakutan dan ngeri, terutama keluarga si gadis. Ada juga yang sampai meneteskan air mata.
Mereka tidak ada yang berani bicara dan menegur saya yang tengah larut dalam suasana hati pasrah dan bicara pada Allah. Saya telah memilih garis nasib saya sendiri dari sekian pilihan yang dibentangkan oleh Allah dihadapanku. Saya yakinkan diri saya, pilihan saya tadi karena Allah, pasti Dia menolong saya seperti yang telah dilakukanNya sejak saya kecil.
Sekitar sejam kemudian, muncul seorang ibu tetangga jauh ustadzah, tetapi sering mengikuti pengajiannya. Ibu itu mengajak serta seorang pemuda lajang, usianya dibawah saya. Rupanya pemuda itu anak pesantren, paham dan bisa mengusir syetan.
Kami berdua berunding bagaimana menghadapi si Abah dan ketiga temannya. Walaupun pemuda itu lebih tahu dari saya tentang cara melawan jin dan syetan, dia rendah hati dan sopan. Pendapat saya diturutinya. Apa-apa yang akan dilakukannya dia Tanya saya dulu.
Pemuda menentukan garis batas yang melintang di depan si gadis sambil komat-kamit membaca sesuatu, saya tidak dengar. Menurut dia, kalau si Abah A cs datang, dihajarnya setelah melewati garis batas itu. Saya iyakan saja. Si gadis juga diingatkan kalau mereka melewati garis batas itu, cepat kasih tahu kami.
Setelah kehadiran pemuda ini, suasana tidak lagi setegang sebelumnya.
Saya tidak paham sama sekali, bagaimana cara pemuda ini bertarung, apa saja yang dibacanya dan gunanya apa, saya merasa tidak enak untuk menanyakannya.
Waktu terasa begitu lama berjalan menunggu jam 02.00. Makin dekat ke batas waktu, suasana kembali mencekam. Saya larut dalam do’a dan dzikir, pemuda itu juga begitu, dia terus komat-kamit. Keluarga si gadis tidak terkecuali, mereka kelihatan sangat sungguh-sungguh dalam do’a dan dzikir.
Sebentar-sebentar kami menoleh ke jam dinding yang tergantung menghitung waktu yang tersisa. Dada saya mulai berdebar, jantung mulai berdetak kencang. Tiba-tiba saja saya terserang perasaan tidak tenang. Meskipun terus berdo’a, tidak bisa juga menenangkan diri. Tapi saya kuatkan diri dan berjanji dalam diri akan bertarung mati-matian, apakah mereka yang hancur, atau saya yang mati.
Tepat jam 02.00 si gadis melaporkan bahwa si Abah A cs telah datang. Si Abah A bertanya lewat si gadis, apakah saya mau bicara langsung atau pakai perantara si gadis.
Waktu itu saya pikir saya harus hati-hati dan keputusan yang diambil harus tepat, salah sedikit bisa fatal, karena keadaan genting seperti itu. Agak lama saya pertimbangkan baik buruknya kedua pilihan itu.
Akhirnya saya putuskan bicara dengan perantaraan si gadis saja. Kalau langsung berarti si Abah A masuk ke diri si gadis, bisa-bisa si gadis disandera dan merajalela menyiksa si gadis.
Si Abah A Tanya keputusan saya, terus atau mundur. Saya tegaskan saya tidak berubah pendirian, saya persilahkan dia mulai.
Si Abah mencoba menteror saya lagi untuk melemahkan saya dengan , mengingatkan isteri dan anak-anak saya di rumah, apa tidak sayang pada mereka.
Tapi saya sudah tidak sabar dan sudah tidak peduli karena saya ingin segera lepas dari suasana hati, perasaan dan pikiran yang sangat tidak enak akibat terror si Abah A.
Si Abah A minta saya yang mulai, alasannya dia yang tua dan lebih tinggi tingkatannya tidak pantas menyerang duluan anak ingusan seperti saya.
Saya jawab, dia yang menginginkan pertarungan ini, dia yang harus memulai. Pertimbangan saya, kalau kami yang memulai, berarti mereka tidak sempat melewati garis batas yang telah ditetapkan oleh pemuda tadi, berarti saya melanggar kesepakatan dengan si pemuda karena ini bahagian dari strategi untuk mengalahkan mereka.
Saat bolak-balik tawar-menawar itu salah seorang konco si Abah A tidak sabar langsung maju menyerang. Melewati garis batas tadi. Si gadis langsung teriak memberitahu kami.
Pemuda yang sejak tadi konsentrasi penuh menunggu moment ini, langsung mendorong kedua telapak tangannya yang terbuka kedepan seperti mengerahkan pukulan jarak jauh.
Si gadis melapor, syetan yang kena hajar itu jatuh terguling dan kondisinya sangat parah. Si gadis sangat semangat menyampaikan laporan apa yang dilihatnya.
Si Abah A rupanya marah-marah dan terus bertanya siapa lagi yang ikut campur. Kami tidak menghiraukannya, kami terus menggempur mereka secara berbareng.
Si gadis melihat terjadi pertarungan mati-matian antara kami dengan si Abah cs. Mereka tidak melarikan diri seperti biasa. Tidak terlalu lama pertarungan ini, mereka jatuh bergelimpangan, tidak bangun-bangun kemudian hilang dari penglihatan si gadis. Untuk sementara kami semua bernapas lega.
Pihak keluarga si gadis merasa tidak enak terus membebani saya. Setelah berunding dengan ibu tetangga jauh tadi, mereka sepakat membawa si gadis ke seorang kiyai terkenal di Jakarta yang menjadi langganan ibu itu.
Habis shalat subuh kami ramai-ramai mengantar si gadis kesana, menunggu berjam-jam disana. Rupanya hari itu hari libur kiyai itu, tidak terima tamu, kiyai tidur, istirahat setelah berhari-hari meladeni tamu yang sangat banyak.
Si ibu tetangga jauh tadi mencoba membujuk isteri kiyai agar bisa ketemu kiyai sebentar saja, tidak bisa juga meskipun permintaan itu disertai tangisan si ibu.
Akhirnya si gadis dibawa ke tempat Pak Haji, tidak jauh dari situ, orang disekitar situ juga yang kasih tahu. Pak Haji itu mengobati orang juga, tetapi tidak sepopuler kiyai tadi.
Cara Pak Haji mengobati, bagi saya sangat unik dan menarik. Satu gelas air putih diletakkan diatas meja jauh di depannya, satu air putih lagi diletakkan diatas meja di depan si gadis. Pak Haji menatap tajam gelas di depannya, bergantian dengan menatap gelas di depan si gadis.
Saya kagum pada Pak Haji itu. Setelah dia menatap, baru mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya tentang apa saja yang ada pada si gadis dan keluarganya. Apa yang diungkapkannya, semua benar, tidak sedikitpun yang salah. Dia bilang si gadis dan keluarganya mengamalkan wirid tanpa kepala, maksudnya wirid yang tidak didahului dengan membaca Al Fatihah, mereka juga pakai jimat dan di rumah si gadis ada benda pusaka.
Pak Haji berjanji ke rumah si gadis besoknya dan memang dia datang..
Saya jadi lega, tidur seharian untuk memulihkan kondisi. Saya pikir sudah tidak ada masalah lagi, Pak Haji itu bisa menuntaskannya.
Tetapi kenyataannya, bertolak belakang dengan perkiraan saya. Sehari setelah Pak Haji ke situ, si gadis dihajar lagi oleh syetan, teriak-teriak kesakitan lagi sampai pingsan.
Sayapun dipanggil dan dimintai tolong lagi. Rupanya porsoalan sakitnya si gadis lebih berat dan rumit dari sebelumnya, sampai-sampai isteri pejabat Omnya si gadis kesambet waktu menjenguk si gadis, rumah si ustadzah jadi seram dan angker, si gadis bersama seluruh keluarga mengungsi ke tempat saya
CATATAN :
Saya telah membahas secara mendalam dan detail tentang syetan, jin dan Iblis, seperti apa mereka, bagaimana kehidupan mereka dan dimana mereka hidup, bagaimana interaksinya dengan setiap diri anak manusia yang mengakibatkan berbagai masalah bagi setiap anak manusia.
Saya juga membahas secara mendalam dan detail tentang jiwa setiap anak manusia, apa yang dimaksudkan dengan jiwa manusia, dimana keberadaan mereka, perannya yang sentral bagi setiap diri anak manusia, persoalan yang dialami oleh anak manusia ketika jiwanya error terutama kaitannya dengan penyakit nonmedis atau medis, apa yang membuatnya error dan bagaimana cara atau upaya memperbaikinya dalam arti penyembuhannya.
Semuanya saya bahas menggunakan fakta empiris yang saya peroleh selama menggeluti penyakit nonmedis 30 tahun lebih.
Untuk informasi tentang kedua buku tersebut silahkan klik ini BUKU TERAPI ALIF
TOP SELLING BUKU TERAPI ALIF